Jakarta, CMKP – Tunjangan Hari Raya Kegamaan (THR Keagamaan) biasanya menjadi hal yang paling dinantikan pekerja menjelang hari raya keagamaan. Akan tetapi, umumnya THR Keagamaan sering dikaitkan dengan status pekerja tetap atau PKWTT.
Tapi bagaimana dengan pekerja lepas atau kontrak? Apakah mereka bisa mendapatkan THR? Bagaimana hukum mengaturnya? Simak penjelasannya berikut!
Ketentuan THR Secara Umum
Pasal 2 ayat 1 Permenaker No. 6 Tahun 2016 (Permenaker 6/2016) dinyatakan bahwa Pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih.
Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa pemberian THR tidak berdasarkan status pekerja, melainkan masa kerja. Artinya, semua pekerja yang memiliki masa kerja satu bulan secara terus-menerus atau lebih berhak mendapat THR.
Maka dapat disimpulkan bahwa pekerja lepas yang memenuhi syarat tersebut berhak mendapatkan THR.
Besaran THR Keagamaan
Besaran pemberian THR Keagamaan terbagi menjadi 3 golongan.
Pertama, untuk pekerja/buruh yang telah bekerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih. Pekerja/buruh dalam kelompok ini menerima THR Keagamaan sebesar 1 bulan upah.
Kedua, untuk pekerja/buruh yang telah bekerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan. Pekerja/buruh dalam kelompok ini menerima THR Keagamaan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: masa kerja / 12 x 1 bulan upah.
Ketiga, untuk pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas. Untuk pekerja/buruh dalam kelompok ini menerima THR Keagamaan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan sebagai berikut:
- pekerja/buruh yang telah bekerja 12 bulan atau lebih: masa kerja/12 x rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.
- pekerja/buruh yang telah bekerja kurang dari 12 bulan: masa kerja/12 x rata-rata upah 1 bulan yang diterima tiap bulan selama masa kerja.
Meski begitu, dalam Pasal 4 Permenaker 6/2016 ketentuan THR juga dapat diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau kebiasaan yang telah dilakukan. Apabila nilai THR lebih besar dari ketentuan di atas, maka THR yang dibayarkan akan mengikuti perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau kebiasaan yang telah dilakukan.
BACA JUGA: Ketentuan THR Bagi Pekerja: Bolehkah Dicicil?
Apakah Pengemudi Ojol dan Kurir Paket Berhak Menerima THR Keagamaan?
Salah satu hal yang menjadi perbincangan belum lama ini adalah nasib para pengemudi ojek online (ojol). Para pengemudi ojol sempat mengajukan protes karena perusahaan aplikasi hanya menyanggupi pemberian insentif tambahan di hari raya, bukan dalam bentuk uang tunai layaknya THR bagi karyawan umumnya.
Berdasarkan Permenhub 12/2019, hubungan antara pengemudi ojol dengan perusahaan aplikasi (Gojek, Grab, dll) adalah hubungan kemitraan. Status kemitraan tersebut membuat pengemudi ojol dan kurir paket tidak masuk dalam kriteria penerima THR pada Permenaker 6/2016. Dengan demikian, pengemudi ojol tidak berhak menerima THR Keagamaan.
Sejauh ini, Kementerian Ketenagakerjaan hanya dapat memberikan imbauan pemberian THR kepada pengemudi ojol dan kurir paket. Sehingga pemberian THR bukanlah kewajiban, melainkan bersifat sukarela. Akan tetapi, Menteri Ketenagakerjaan menjanjikan akan menginisiasi penyusunan Rancangan Permenaker terkait perlindungan tenaga kerja pada layanan berbasis aplikasi layaknya pengemudi ojol dan kurir paket.
Referensi:
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (Permenaker 6/2016).
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat (Permenhub 12/2019).