Jakarta, CMKP – Hak maternitas adalah hak bagi pekerja perempuan yang timbul karena kebutuhan fungsi fisik dan reproduksinya, mencakup cuti haid, cuti hamil/melahirkan, hingga cuti keguguran.
Riset dari Perempuan Mahardhika menemukan terdapat 4 dari 25 pekerja perempuan di Indonesia yang menyembunyikan kehamilan mereka karena khawatir kehilangan pekerjaan. Akibatnya 7 dari 93 pekerja perempuan pernah mengalami keguguran, di mana 3 di antaranya tidak diberi cuti keguguran.
Urgensi akan kesehatan dan kesejahteraan pekerja tersebut yang membuat hak maternitas semakin dibutuhkan. Hak maternitas sendiri ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar perempuan dan keluarganya dalam beradaptasi secara fisik dan psikososial. Untuk itu, mari simak bagaimana peraturan dan ketentuan cuti hamil dan cuti keguguran bagi pekerja perempuan berikut!
Ketentuan Cuti Hamil
Hak maternitas bagi pekerja perempuan Indonesia telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Dalam Pasal 82 ayat 1 disebutkan bahwa:
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Berdasarkan pasal tersebut pekerja perempuan dapat memperoleh durasi cuti minimal 3 bulan, yang mencakup sebelum dan sesudah melahirkan. Waktu istirahat dapat diperpanjang apabila terdapat rekomendasi atau surat keterangan dari dokter kandungan atau bidan.
Berdasarkan Pasal 185 UU Ketenagakerjaan, perusahaan yang tidak memberikan waktu istirahat sebelum melahirkan dan sesudah melahirkan dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 100 juta Rupiah dan paling banyak 400 juta Rupiah.
Meski telah menaungi hak maternitas pekerja perempuan, namun kebijakan tersebut masih belum memenuhi rekomendasi dari International Labour Organization (ILO). Konvensi ILO No. 183 merekomendasikan agar cuti hamil tidak boleh kurang dari 14 minggu. Sementara rekomendasi ILO No. 191 menyarankan durasi cuti hamil setidaknya 18 minggu.
Sementara UU Ketenagakerjaan hanya memberikan cuti hamil selama 13 minggu. Indonesia menjadi salah satu dari 64 negara lain yang belum memenuhi rekomendasi ILO atas durasi minimal cuti hamil/melahirkan bagi pekerja perempuan.
Ketentuan Cuti Keguguran
Tidak hanya cuti hamil, undang-undang juga mengatur ketentuan bagi pekerja perempuan yang mengalami keguguran. Hal tersebut diatur dalam Pasal 82 ayat 2 UU Ketenagakerjaan berikut:
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Dari pasal tersebut jelas bahwa pekerja perempuan yang mengalami keguguran akan mendapatkan hak cuti/waktu istirahat setidaknya 1,5 bulan. Selain itu, surat keterangan dokter dan bidan juga dapat menjadi rujukan pendukung berapa lama waktu istirahat yang dibutuhkan.
Cuti Hamil atau Cuti Keguguran, Apakah Tetap Digaji?
Masalah terkait gaji tentu sering menjadi pertanyaan bagi pekerja perempuan. Apalagi durasi cuti hamil dan keguguran bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan.
Pasal 84 UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat, termasuk di antaranya cuti haid, cuti hamil dan cuti keguguran, berhak mendapat upah penuh. Untuk itu, pengusaha wajib untuk tetap memberikan gaji secara penuh bagi pekerja perempuan yang mengajukan cuti maternitas.
Perlindungan bagi Hak Maternitas Pekerja Perempuan
Kebutuhan fisik dan reproduksi pekerja perempuan tidak jarang menjadi alasan pengusaha untuk bersikap diskriminatif pada pekerja perempuan serta enggan memenuhi hak maternitas mereka. Apalagi data ILO mencatat 5 dari 10 calon ibu di Indonesia memiliki risiko mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan diskriminatif.
Maka dari itu perlu diketahui bahwa perlindungan dari diskriminasi akan kebutuhan reproduksi perempuan sebenarnya juga diatur dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pasal tersebut menegaskan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
Untuk itu, Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan turut menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan di atas akan batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Pasal-pasal tersebut dapat menjadi payung hukum yang melindungi pekerja perempuan dari adanya tindakan diskriminatif akan hak maternitas mereka. (int/bin/chs)
Referensi:
ILO.org. 2022, “Intervensi Pemerintah Diperlukan untuk Kepatuhan terhadap Hak Maternitas” [online] Tersedia dalam: https://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_834805/lang–en/index.htm
ILO. 2022, Risalah ILO untuk Indonesia: Perawatan pada Pekerjaan di Indonesia, Risalah ILO, Oktober 2022.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.