Delik Aduan vs Delik Biasa, Apa Perbedaannya?


Jakarta, CMKP – Ketika mengikuti perkara pidana atau membaca Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), terkadang kita menemui istilah delik aduan dan delik biasa. Meski sama-sama digunakan untuk menentukan proses perkara pidana, namun keduanya memiliki pengertian yang berbeda.

Delik Aduan

Delik aduan (klacht delict) adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya bisa dilakukan jika terdapat pengaduan dari pihak yang dirugikan. Terdapat dua jenis delik aduan, yakni delik aduan absolut dan relatif.

Pertama, delik aduan absolut merujuk pada delik yang mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan untuk penuntutan. Selain itu, delik aduan absolut ditujukan terhadap perbuatan dan bukan kepada pembuat, sehingga pengaduan tidak dapat dipecah-pecah. Salah satu contoh delik aduan absolut adalah kasus pencemaran nama baik. 

Sementara itu delik aduan relatif ditujukan kepada pembuatnya yang disyaratkan memiliki hubungan tertentu seperti hubungan keluarga sedarah dan hubungan semenda dalam derajat kedua, sehingga pengaduan dapat dipecah-pecah. Oleh karena itu, contoh delik aduan relatif seperti pada kasus pencurian oleh anggota keluarga pada pasal 367 KUHP.

Tenggang Waktu Laporan Delik Aduan

Selain itu perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 74 ayat (1) KUHP (berlaku hingga 1 Januari 2026), delik aduan hanya dapat diajukan dalam kurun waktu 6 bulan sejak pihak yang dirugikan mengetahui tindakan pidana untuk orang berdomisili di Indonesia. Sementara orang berdomisili di luar Indonesia memiliki kurun waktu 9 bulan untuk melaporkan tindakan pidana.

Berdasarkan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”) (berlaku sejak 2 Januari 2026), pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu: 

  1. 6 (enam) Bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya Tindak Pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau 
  2. 9 (sembilan) Bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya Tindak Pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

BACA JUGA: KDRT: Delik Aduan Atau Delik Biasa?

Delik Biasa

Pada sisi lain, delik biasa (gewone delicten) adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutan. Untuk itu, penyidik berkewajiban memproses kasus meskipun tanpa laporan atau persetujuan pihak yang dirugikan. Contoh kasus yang termasuk dalam delik biasa adalah pembunuhan, penggelapan, dan pencurian.

Tenggang Waktu Laporan Delik Biasa

Berdasarkan Pasal 78 KUHP (berlaku hingga 1 Januari 2026),  kewenangan menuntut pidana secara umum hapus karena daluwarsa dalam hal:

  1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
  2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
  3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah 12 tahun;
  4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah 18 tahun.

Berdasarkan Pasal 132 KUHP Baru (berlaku sejak 2 Januari 2026),  kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika: 

  1. ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Setiap Orang atas perkara yang sama; 
  2. tersangka atau terdakwa meninggal dunia; 
  3. kedaluwarsa; 
  4. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II (maksimal sepuluh juta rupiah); 
  5. maksimum pidana denda kategori IV (maksimal  dua ratus juta rupiah) dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama I (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (maksimal lima puluh juta rupiah); 
  6. ditariknya pengaduan bagi Tindak Pidana aduan; 
  7. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang; atau 
  8. diberikannya amnesti atau abolisi.

Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa perbedaan delik aduan dan delik biasa terletak pada bagaimana perkara diproses. (int/bng)

Referensi:

Handoko, Duwi, 2017. Asas-asas Hukum Pidana dan Hukum Penitensier di Indonesia, Pekanbaru: Hawa dan Ahwa.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Lamintang, P.A.F, et. al, 2014. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Mahrus Ali, 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »