Jakarta, CMKP – Tindak pidana sangat mungkin dilakukan oleh siapapun, termasuk anak-anak. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya 655 anak yang berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan dari rentang tahun 2016-2020.
Dari data tersebut, 506 anak menjadi pelaku kekerasan fisik dan 149 lainnya menjadi pelaku kekerasan psikis. Sebagai individu di bawah umur, anak akan menghadapi konsekuensi hukum yang berbeda dengan hukum pidana bagi orang-orang dewasa. Berikut penjelasannya.
Sistem Peradilan Anak di Indonesia
Sistem peradilan anak di Indonesia merujuk pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Anak yang dikategorikan berkonflik dengan hukum adalah mereka yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun dan diduga melakukan tindak pidana.
Pendekatan Keadilan Restoratif
Dalam praktiknya, sistem peradilan anak lebih mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Sebelum kasus berjalan di tingkat pengadilan, upaya diversi atau penyelesaian melalui proses di luar peradilan pidana harus diupayakan terlebih dahulu. Proses tersebut dilakukan dengan musyawarah yang melibatkan para pihak terkait. Hasil diversi sendiri dapat berupa:
- perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
- penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
- keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
- pelayanan masyarakat.
Selain itu, upaya diversi tersebut harus dilakukan apabila:
- pelaku diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
- bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Jenis Hukuman Pidana bagi Anak
Apabila proses diversi tidak membuahkan hasil atau kesepakatan, maka proses hukum berlanjut di tingkat peradilan pidana. Terdapat dua jenis sanksi pidana bagi anak yang terbukti bersalah, yakni pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana pokok pada anak meliputi:
- pidana peringatan;
- pidana dengan syarat:
- pembinaan di luar lembaga;
- pelayanan masyarakat; atau
- pengawasan.
- pelatihan kerja;
- pembinaan dalam lembaga; dan
- penjara.
Sementara itu sanksi pidana tambahan yang berlaku bagi anak di bawah usia 14 tahun. Sanksi tersebut terdiri atas:
- perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
- pemenuhan kewajiban adat. Pemenuhan kewajiban adat merujuk pada denda atau tindakan yang harus dilakukan mengikuti norma atau adat setempat. Sanksi ini juga harus tetap menghormati martabat dan tidak membahayakan fisik maupun mental anak.
Hukuman Penjara bagi Anak
Hukuman penjara bagi anak termasuk dalam pidana pokok. Sanksi ini umumnya menjadi pilihan terakhir dan hukuman paling berat bagi anak.
Dalam praktiknya, hukuman penjara dapat dijatuhkan paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Pelaku akan menjalani masa hukuman penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Apabila anak berkelakuan baik selama pembinaan, ia dapat mendapat pembebasan bersyarat.
BACA JUGA: Anak-Anak sebagai Manusia Silver: Fenomena Eksploitasi Anak yang Sering Terabaikan
Sanksi bagi Anak Usia di Bawah 12 Tahun
Anak yang berusia di bawah 12 tahun dan diduga melakukan tindak pidana akan menerima keputusan dari penyidik atau pembimbing kemasyarakatan berupa:
- menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau
- mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 bulan.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa kasus kejahatan oleh anak memiliki sistem peradilan yang berbeda, yakni sistem peradilan pidana anak. Dalam praktiknya, upaya diversi harus diupayakan terlebih dahulu sebelum kasus diproses pada tingkat peradilan pidana. (int/bng)
Referensi:
Databoks, 2022. “Ini Jumlah Anak-Anak yang Jadi Pelaku Kekerasan di Indonesia” [online] Tersedia dalam: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/29/ini-jumlah-anak-anak-yang-jadi-pelaku-kekerasan-di-indonesia.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.