Jerat Hukum bagi Tindak Pemalsuan Tanda Tangan


pemalsuan tanda tangan

Jakarta, CMKP – Pemalsuan tanda tangan adalah tindak yang terkadang ditemui di lingkungan perusahaan, organisasi, maupun masyarakat secara umum. Meski terkesan sepele, tanda tangan sejatinya memiliki kekuatan hukum. Sehingga, terdapat implikasi hukum apabila terjadi tindak pemalsuan tanda tangan. Simak penjelasannya berikut.

Kekuatan Hukum Tanda Tangan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanda tangan merupakan tanda sebagai lambang nama yang dituliskan dengan tangan oleh orang itu sendiri sebagai penanda pribadi (telah menerima dan sebagainya). Dalam Black’s Law Dictionary, tanda tangan dijelaskan sebagai nama atau tanda seseorang yang ditulis oleh orang yang bersangkutan atau atas petunjuk orang tersebut. 

Sementara itu secara yuridis, pengertian tanda tangan tertuang dalam Pasal 1 angka (3) UU No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Tanda tangan merupakan tanda sebagai lambang nama sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik.

Selanjutnya dari segi fungsi, tanda tangan memiliki fungsi otentifikasi, presensi, identitas, serta fungsi pembuktian.

Sanksi Hukum Pemalsu Tanda Tangan Berdasarkan KUHP

Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHP, seseorang dapat diancam pidana penjara paling lama 6 tahun jika membuat surat palsu atau memalsukan surat: 

  • yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang; atau
  • yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu,
  • jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Selanjutnya Pasal 263 ayat (2) KUHP, setiap orang yang dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah benar/sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian, juga diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

Selain itu dalam Pasal 264 KUHP, pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika dilakukan terhadap:

  1. akta otentik;
  2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
  3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
  4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
  5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

Akan tetapi perlu dipahami bahwa tidak semua jenis pemalsuan tanda tangan dapat dipidanakan. Beberapa situasi yang membuat tindak pemalsuan tanda tangan dijerat pasal pidana, yakni:

  • surat yang dapat menerbitkan hak, seperti surat andil dan ijazah.
  • surat yang dapat menerbitkan perjanjian, seperti surat perjanjian jual-beli, piutang, sewa, dan lain-lain.
  • surat yang dapat menerbitkan pembebasan utang, seperti cek dan kuitansi.
  • surat yang dapat digunakan sebagai keterangan atas suatu peristiwa, seperti buku kas, surat kelahiran, dan lain-lain.

Secara umum, tindak pemalsuan tanda tangan atau surat akan berimplikasi hukum apabila berpotensi menimbulkan kerugian bagi korban. 

Sanksi Hukum Pemalsu Tanda Tangan Berdasarkan KUHP Baru

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”) juga diatur mengenai pemalsuan surat. KUHP Baru akan berlaku mulai 2 Januari 2026. 

Berdasarkan Pasal 148 KUHP Baru, surat didefinisikan sebagai dokumen yang ditulis di atas kertas, termasuk juga dokumen atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpanan Komputer atau media penyimpan data elektronik lain.

Selanjutnya, menurut Pasal 391 ayat (1) KUHP Baru, setiap orang dapat diancam pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana paling banyak kategori Rp200 juta jika:

  • membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang; atau 
  • yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau meminta orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu;
  • Penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Selain itu menurut Pasal 391 ayat (2) KUHP Baru, setiap orang diancam dengan pidana 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp200 juta jika menggunakan surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar atau tidak dipalsu, dan penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Referensi:

Hamzah, Guntur & Ria Mardiana Yusuf, 2023. Birokrasi Modern, Rajawali Press.

UU No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Soesilo, R., 2013. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »