Jakarta, CMKP – Hutan Adat merupakan wilayah geografis yang mengandung nilai-nilai budaya. Terlebih bagi Masyarakat Hutan Adat (MHA) yang telah mendiami hutan tersebut selama turun-temurun.
Meski begitu, hutan seringkali menjadi konsentrasi konflik antara masyarakat, pemerintah, serta korporasi. Hasil Inkuiri Nasional Komnas HAM mencatat terdapat 40 kasus konflik masyarakat adat dalam kawasan hutan. Konflik tersebut umumnya melibatkan benturan kepentingan antara masyarakat adat dengan program investasi pemerintah bersama korporasi.
Melihat situasi tersebut, perlindungan hukum atas hutan adat masih dibayangi potensi perusakan dan ancaman perampasan wilayah hutan. Maka dari itu perlu diketahui jerat pidana bagi perusak hutan adat berikut!
Perlindungan Kawasan Hutan Adat
Hutan adat menjadi wilayah yang dikelola dan dimanfaatkan MHA. Menurut undang-undang, MHA memiliki kewenangan untuk mempertahankan fungsi hutan adat. Selain itu, pemangku hutan adat juga memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran lingkungan.
Perusakan pada hutan adat memiliki implikasi hukum. Perusahaan atau pihak yang merusak atau membabat hutan termasuk dalam perbuatan ilegal, karena:
- melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan;
- melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; dan/atau
- melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah.
Menurut UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pelaku dapat diancam pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun serta denda minimal Rp5 miliar dan maksimal Rp15 miliar.
BACA JUGA: Mengenal Aturan Hukum bagi Hutan Adat
Referensi:
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2020. Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pandemi Covid-19: Agresi Pembangunan & Krisis Hak Asasi Manusia”, Catatan Akhir Tahun.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan