Jakarta, CMKP – Fasilitas jalan adalah salah satu kebutuhan vital bagi masyarakat yang menjadi kewajiban pemerintah. Sayangnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 mencatat bahwa ada 31,2% jalan di Indonesia yang rusak.
Situasi tersebut bukan hal yang dapat disepelekan. Karena menurut data Kepolisian Indonesia, 30% angka kecelakaan nasional disebabkan oleh faktor prasarana dan lingkungan. Kerugian yang ditimbulkan pun tidak hanya sekadar materiil, namun hingga nyawa.
Oleh karena itu, tahukah kalian bahwa korban kecelakaan akibat jalan rusak bisa melayangkan tuntutan ke pemerintah?
Kewajiban Pemerintah terhadap Penyelenggaraan Jalan
Terdapat dua lembaga yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan jalan, yakni pemerintah pusat yang meliputi jalan nasional dan jalan secara umum serta pemerintah daerah yang meliputi jalan provinsi, kabupaten/kota, dan desa.
Ketika terdapat jalan yang rusak, menurut Pasal 24 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) penyelenggara jalan, dhi. pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib untuk:
- segera memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas;
- memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak, jika belum dapat dilakukan perbaikan jalan, untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.
BACA JUGA: Memahami Citizen Lawsuit: Gugatan Warga Negara kepada Pemerintah
Hukum dalam Kecelakaan Akibat Jalan Rusak
Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah memiliki kewajiban untuk memperbaiki jalan atau memberikan tanda/rambu pada jalan yang rusak demi melindungi keselamatan masyarakat. Apabila kewajiban tersebut diabaikan, pemerintah dapat dikenakan sanksi pidana.
Ketentuan pidana terhadap hal tersebut diatur dalam Pasal 273 UU LLAJ. Penyelenggara jalan yang tidak segera memperbaiki jalan yang rusak hingga mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp12 juta.
Berdasarkan penjelasan Pasal 229 ayat (3) UU LLAJ, yang dimaksud dengan “luka ringan” adalah luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang diklasifikasikan dalam luka berat.
Apabila korban mengalami luka berat, pelaku dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp24 juta. Sementara jika korban meninggal dunia, pelaku dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp120 juta.
Berdasarkan penjelasan Pasal 229 ayat (4) UU LLAJ, yang dimaksud dengan “luka berat” adalah luka yang mengakibatkan korban:
a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut;
b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan;
c. kehilangan salah satu panca indra;
d. menderita cacat berat atau lumpuh;
e. terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih;
f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau
g. luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 (tiga puluh) hari.
Tuntutan sendiri dilayangkan kepada pemerintah yang bertanggung jawab terhadap jalan tempat kecelakaan terjadi. Berikut rinciannya:
- Pada jalan nasional gugatan dilayangkan kepada pemerintah pusat;
- Pada jalan provinsi gugatan dilayangkan kepada pemerintah provinsi;
- Pada jalan kabupaten gugatan dilayangkan kepada pemerintah kabupaten;
- Pada jalan kota gugatan dilayangkan kepada pemerintah kota;
- Pada jalan desa gugatan dilayangkan kepada pemerintah desa atau pemerintah kabupaten/kota.
Referensi
Databoks, 2023. “31% Jalanan Rusak di Indonesia pada 2021” [online] Tersedia dalam: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/04/17/31-jalanan-di-indonesia-rusak-pada-2021
Kominfo, 2022. “Rata-Rata Tiga Orang Meninggal Setiap Jam Akibat Kecelakaan Jalan” [online] Tersedia dalam: https://www.kominfo.go.id/index.php/content/detail/10368/rata-rata-tiga-orang-meninggal-setiap-jam-akibat-kecelakaan-jalan/0/artikel_gpr
UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan