Korsel Sahkan UU Goo Hara, Apakah Indonesia Punya Aturan yang Serupa?


UU Goo Hara

Jakarta, CMKP – Parlemen Korea Selatan baru saja mengesahkan undang-undang baru bernama Goo Hara Act atau UU Goo Hara. Undang-undang tersebut akhirnya berhasil disahkan setelah empat tahun terakhir rakyat Korsel mengajukan petisi akibat kasus yang dialami oleh Goo Hara. Siapa sebenarnya Goo Hara dan apa isi dari UU tersebut?

Latar Belakang UU Goo Hara

Goo Hara adalah penyanyi sekaligus aktris asal Korea Selatan. Ia mulai terkenal ketika menjadi anggota girl group KARA. Sayangnya pada 24 November 2019, Goo Hara memutuskan mengakhiri hidupnya akibat depresi yang ia alami.

Ketika pemakaman, ibu Goo Hara tiba-tiba datang untuk mengaklaim harta warisan anaknya tersebut. Padahal, si ibu diketahui telah menelantarkan Goo Hara serta saudaranya selama hampir 20 tahun.

Fakta tersebut membuat warga Korsel marah dan mengajukan petisi untuk mengubah undang-undang tentang hak waris. Petisi itu kemudian disebut dengan UU Goo Hara.

Apa Isi UU Goo Hara?

Secara garis besar, UU Goo Hara menghapus hak orang tua atas harta warisan anak apabila mereka tidak memenuhi kewajibannya (menelantarkan atau tidak menafkahi anak) sebagai orang tua. UU baru ini akan berlaku efektif pada 1 Januari 2026.

Sebelum direvisi, orang tua berhak atas harta kekayaan anak mereka yang meninggal meski mereka tidak membesarkan atau menafkahi anak tersebut.

Apakah Indonesia Punya Hukum Waris yang Serupa?

Indonesia sendiri memiliki tiga hukum waris yang dianut, yakni: Hukum Perdata, Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat. Hukum Waris Islam umumnya dianut oleh masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam. Hukum Waris Perdata di sisi lain dianut oleh masyarakat non-Islam. Sementara Hukum Waris Adat digunakan oleh masyarakat adat, seperti contoh pada suku Minangkabau yang menganut sistem matrilineal.

Apabila berkaca pada UU Goo Hara, warisan tersebut merujuk pada situasi di mana seorang perempuan lajang yang meninggal. Sehingga meninggalkan orang tua dan saudaranya selaku keluarga terdekat untuk menjadi ahli waris.

BACA JUGA: Angka Perceraian di Indonesia Tinggi: Pentingkah Membuat Perjanjian Perkawinan?

Aturan dalam Hukum Waris Perdata

Menurut Hukum Waris Perdata di Indonesia terdapat empat golongan ahli waris yang menunjukkan urutan mana yang didahulukan, yakni:

  • Golongan I terdiri dari suami atau istri yang ditinggalkan, anak-anak sah, serta keturunannya.
  • Golongan II terdiri dari ayah, ibu, saudara, dan keturunan saudara.
  • Golongan III terdiri dari kakek, nenek, dan saudara dalam garis lurus ke atas.
  • Golongan IV terdiri dari saudara dalam garis ke samping, misalnya paman, bibi, saudara sepupu, hingga derajat keenam.

Selanjutnya, terdapat pula kriteria pihak yang dilarang menjadi ahli waris, yakni:

  • orang yang telah dijatuhi hukuman membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal (pewaris);
  • orang yang pernah dijatuhkan atau dipersalahkan karena memfitnah pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
  • orang yang menghalangi orang yang meninggal (pewaris) dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; dan
  • orang yang telah menggelapkan, memusnahkan, atau memalsukan wasiat orang yang meninggal (pewaris).

Aturan dalam Hukum Waris Islam

Sementara itu, berdasarkan Hukum Waris Islam, seseorang tidak dapat menjadi ahli waris jika: 

  • berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dianggap bersalah telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris;
  • berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan bersalah karena memfitnah pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 tahun atau hukum yang lebih berat.

Untuk itu, apabila merujuk Hukum Waris Perdata (Pasal 838 KUHPerdata) dan Hukum Waris Islam (Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam), alasan menelantarkan anak belum dapat menjadi alasan penghalang bagi orang tua untuk menjadi ahli waris atau tidak dapat menjadi ahli waris. (int/bng)

Bagaimana menurut kalian? Apakah Indonesia perlu memiliki peraturan yang serupa dengan UU Goo Hara?

Referensi:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kompilasi Hukum Islam

Tempo.co, “Kisah Pilu di Balik UU Goo Hara yang Baru Disahkan” [online] Tersedia dalam: https://seleb.tempo.co/read/1866279/kisah-pilu-di-balik-uu-goo-hara-yang-baru-disahkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »