Memahami Money Laundering: Tindak Pidana Pencucian Uang


money laundering

Jakarta, CMKP Money laundering atau tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan tindak pidana yang masih sering ditemui. Tahun 2022 misalnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap terdapat 1.722 laporan transaksi mencurigakan terkait money laundering. Total nominal dari temuan tersebut mencapai Rp183,88 triliun.

Sebenarnya apa itu money laundering dan bagaimana hukum Indonesia mengatur tindak pidana tersebut? Simak pembahasannya berikut!

Hukum terkait Money Laundering di Indonesia

Menurut Black’s Law Dictionary, money laundering merupakan istilah yang digunakan untuk mengambil uang yang diperoleh secara tidak sah dan mencucinya, sehingga seolah-olah diperoleh secara sah.

Definisi money laundering dalam hukum Indonesia terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010). Pencucian uang merupakan segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana berikut:

  1. Menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan. Pelaku dapat dipidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar (Pasal 3 UU 8/2010).
  2. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Pelaku dapat diancam pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar (Pasal 4 UU 8/2010).
  3. Menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Pelaku dapat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 5 UU 8/2010).

Untuk itu, secara sederhana money laundering melibatkan perolehan uang dari hasil tindak pidana dan pelaku yang terlibat menyembunyikan/menyamarkannya agar seolah-olah uang tersebut diperoleh secara tidak bertentangan dengan hukum/legal.

BACA JUGA: Ingin Jadi Investor Aset Kripto? Simak Dahulu Bagaimana Aturan Pajak Kripto Disini!

Yang termasuk sebagai ‘harta kekayaan yang diperoleh tindak pidana’ adalah harta kekayaan yang diperoleh dari:

Pihak Pelapor dalam Kasus TPPU

Dalam kasus money laundering, pihak pelapor adalah setiap orang atau korporasi yang menurut UU 8/2010 wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. Pihak pelapor meliputi penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan/atau jasa lain.

Pihak pelapor wajib melakukan prinsip mengenali prinsip jasa yang sekurang-kurangnya memuat identifikasi pengguna jasa, verifikasi pengguna jasa, pemantauan transaksi pengguna jasa.

Penerapan prinsip mengenali pengguna jasa dilakukan pada saat:

  • Melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa.
  • Terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan 100 juta rupiah.
  • Terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme.
  • Pihak pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan pengguna jasa.

Laporan-laporan yang wajib disampaikan oleh penyedia jasa keuangan kepada PPATK meliputi:

  • Transaksi keuangan mencurigakan.
  • Transaksi keuangan tunai dalam jumlah paling sedikit 500 juta rupiah atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 hari kerja.
  • Transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.

Laporan-laporan yang wajib disampaikan oleh penyedia barang dan/atau jasa lain meliputi:

  • Laporan transaksi yang dilakukan oleh pengguna jasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan 500 juta rupiah kepada PPATK.

Baik Penyedia jasa keuangan dan Penyedia barang dan/atau jasa lain yang tidak menyampaikan laporan kepada PPATK akan dikenakan sanksi administratif. Dari penjelasan ini, money laundering menjadi praktik tindak pidana yang dapat berdampak buruk kondisi ekonomi nasional. Khususnya pada integritas pasar keuangan, distorsi dan ketidakstabilan ekonomi, serta terganggunya program privatisasi. (int/bng)

Referensi:

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi oleh Instansi Pemerintah dan/atau Lembaga Swasta dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tempo, 2023, ‘Sepanjang 2022 PPATK Ungkap Pencucian Uang Capai Rp 183,88 T’ [online] Tersedia dalam:https://bisnis.tempo.co/read/1691307/sepanjang-2022-ppatk-ungkap-pencucian-uang-capai-rp-18388-t

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »