Jakarta, CMKP – Kekerasan seksual dan upaya penegakan hukumnya di lingkungan perguruan tinggi menjadi isu yang masih terus diperjuangkan. Menurut data Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi seringkali melibatkan relasi kuasa.
Artinya, pelaku memiliki posisi yang lebih tinggi daripada korban. Seperti dosen kepada mahasiswa atau mahasiswa senior kepada mahasiswa junior. Sehingga, tidak jarang korban mengalami banyak tekanan baik oleh pelaku maupun sistem yang tidak mendukung. Untuk itu, mari memahami bagaimana hukum mengatur tentang isu ini pada penjelasan berikut.
Pengertian dan Lingkup Kekerasan Seksual
Kekerasan Seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Dalam pengertian tersebut, kekerasan seksual dapat berupa tindakan verbal, fisik, non fisik, maupun secara daring. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) dan (2) Permendikbud Ristek 30/2021 lingkup kekerasan seksual dijelaskan sebagai berikut:
- menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;
- memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
- menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
- menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
- mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
- mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
- membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
- memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
- membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban; dan lain-lain.
Perlu digarisbawahi, persetujuan korban yang dimaksud pada angka 2, 6, 7, 8, 12, dan 13, dianggap tidak sah apabila korban:
- belum berusia dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
- mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
- mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
- memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
- mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
- mengalami kondisi terguncang.
Mekanisme Pencegahan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi
Menurut Pasal 6 Permendikbud Ristek, pencegahan kekerasan seksual oleh perguruan tinggi dilakukan dalam tiga bentuk, yakni:
- Pembelajaran, dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dengan mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian.
- Pencegahan melalui penguatan tata kelola, di mana paling sedikit terdiri atas:
- Merumuskan kebijakan yang mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi;
- Membentuk Satuan Tugas;
- Menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;
- Membatasi pertemuan antara Mahasiswa dengan Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus;
- Menyediakan layanan pelaporan Kekerasan Seksual;
- Melatih Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus terkait upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;
- Melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual kepada Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus;
- Memasang tanda informasi yang berisi: 1. pencantuman layanan aduan Kekerasan Seksual; dan 2. peringatan bahwa kampus Perguruan Tinggi tidak menoleransi Kekerasan Seksual;
- Menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual; dan melakukan kerja sama dengan instansi terkait untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
- Pencegahan melalui penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual paling sedikit pada kegiatan:
- pengenalan kehidupan kampus bagi Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan;
- organisasi kemahasiswaan; dan/atau
- jaringan komunikasi informal Mahasiswa, Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
BACA JUGA: Mengenal Apa Itu Child Grooming: Kejahatan Seksual yang Melanggar Hak Anak
Aturan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Menurut Pasal 10 Permendikbudristek, penanganan kasus kekerasan seksual Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui:
- Pendampingan yang diberikan kepada Korban atau saksi yang berstatus sebagai Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus. Pendampingan tersebut berupa: konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi; dan/atau bimbingan sosial dan rohani.
- Pelindungan kepada korban, berupa:
- Jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi Mahasiswa;
- Jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan;
- Jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan Kekerasan Seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak hukum;
- Pelindungan atas kerahasiaan identitas;
- Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;
- Penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan;
- Pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap Korban;
- Pelindungan Korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana;
- Gugatan perdata atas peristiwa Kekerasan Seksual yang dilaporkan;
- Penyediaan rumah aman; dan/atau
- Pelindungan atas keamanan dan bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikan.
- Pengenaan sanksi administratif yang ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi berdasarkan rekomendasi Satuan Tugas. Sanksi administratif dapat berupa teguran, pengurangan hak, pencabutan beasiswa, pemberhentian sementara/tetap, dan lain sebagainya menurut Pasal 14-19.
- Pemulihan kepada Korban berupa: tindakan medis, terapi fisik, terapi psikologis dan/atau bimbingan sosial dan rohani.
Melalui instrumen pencegahan dan pelindungan di atas, perguruan tinggi diharapkan memahami dan mengimplementasikan aturan yang telah ada. Sehingga, setiap pihak yang menjadi korban menjadi pelindungan serta pelaku mendapat hukuman setimpal. Aturan ini sendiri penting ditegakkan tidak hanya untuk menegakkan hukum, tapi juga menghidupkan iklim akademis yang bebas dari kekerasan seksual. (int)
Referensi:
Databoks, 2023. “Kampus, Lingkungan Pendidikan dengan Kekerasan Seksual Terbanyak” [online] Tersedia dalam: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/12/20/kampus-lingkungan-pendidikan-dengan-kekerasan-seksual-terbanyak.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.