Jakarta, CMKP – Upaya penurunan emisi karbon selama ini seringkali dikaitkan dengan hutan. Keberadaan pohon telah diketahui secara luas memiliki fungsi menyerap karbon di udara.
Namun selain ekosistem hutan, terdapat pula ekosistem perairan yang ternyata juga mampu berkontribusi pada penurunan emisi karbon. Hal tersebut sering pula disebut dengan blue carbon. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai blue carbon berikut.
Pengertian Blue Carbon
Blue carbon atau karbon biru merupakan karbon yang diserap dan disimpan pada ekosistem pesisir dan laut, seperti ekosistem mangrove, hutan bakau, padang lamun, rawa air payau, dan terumbu karang.
Karbon yang diserap pada ekosistem pesisir misalnya, akan disimpan di bawah tanah pantai dan bisa bertahan di tanah pantai hingga ribuan tahun. Oleh karena itu ketika ekosistem perairan tersebut rusak, sejumlah besar karbon akan dilepaskan kembali ke atmosfer sehingga berdampak pada perubahan iklim. Ekosistem blue carbon sendiri diyakini sebagai penyerap karbon yang paling efektif, bahkan dibandingkan dengan ekosistem hutan.
Perbedaan dengan Green Carbon
Selain blue carbon, terdapat pula istilah green carbon yang lebih dulu dikenal secara luas. Green carbon mengacu pada karbon yang diserap dan disimpan melalui fotosintesis pada ekosistem hutan, perkebunan, lahan pertanian, serta padang rumput.
Potensi Blue Carbon di Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi blue carbon yang sangat besar. Hutan mangrove Indonesia sebagai contoh, memiliki total luas 3,2 juta ha atau mencapai 22 persen. Hal tersebut membuat hutan mangrove Indonesia lebih luas daripada Australia dan Brazil.
Potensi serapan blue carbon Indonesia bisa mencapai 3,4 giga ton (GT) atau sekitar 17 persen dari blue carbon dunia. Nilai karbon mangrove sendiri bisa mencapai USD 90 ribu per hektar. Peneliti CIDES Indonesia, M.Rudi Wahyono menyebut pengelolaan cagar blue carbon dapat membawa pendapatan ekonomi hingga USD 248 miliar melalui berbagai skema carbon credit.
Manfaat dari cagar blue carbon pun tidak sebatas keuntungan ekonomi, tapi juga pada ekowisata, penguatan industri perikanan, serta pencegah abrasi, tsunami, dan badai.
Pemanfaatan blue carbon sendiri termasuk dalam agenda pengurangan emisi Nationally Determined Contributions (NDC) 2030. Selama rentang tahun 2010-2020, Pemerintah Indonesia telah menanam lebih dari 80 ribu hektar mangrove.
Baca Juga:
- Mengenal Carbon Credit: Bisnis Berbasis Lingkungan di Masa Depan?
- Serba-Serbi Pajak Karbon di Indonesia dan Dasar Hukumnya
Implementasi Blue Carbon dan Green Carbon di Indonesia
Salah satu peraturan yang menaungi masalah terkait blue carbon adalah Perpres 98/2021. Lewat Perpres tersebut, kewenangan dalam bidang blue carbon (sektor kelautan) dipegang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam sektor blue carbon meliputi:
- kebijakan mitigasi perubahan iklim (usaha pengendalian untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan GRK dan penyimpanan/penguatan cadangan karbon dari berbagai sumber emisi);
- kebijakan adaptasi perubahan iklim (upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi).
Sementara itu, kewenangan pada sektor kehutanan yang mencakup green carbon berada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan (Permenlhk 7/2023) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (Permenlhk 21/2022).
Meski begitu, kewenangan Kementerian LHK dalam nilai ekonomi karbon lebih luas dibandingkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan Perpres 98/2021, kewenangan Kementerian LHK tidak hanya pada tata kelola green carbon atau sektor kehutanan, namun meliputi juga tata kelola nilai ekonomi karbon secara umum. Tata kelola nilai ekonomi karbon tersebut meliputi:
- menyusun dan menetapkan dokumen NDC, dan menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa;
- mengatur pedoman pelaksanaan measurement, reporting, and verification, setelah berkoordinasi dengan menteri terkait;
- menerbitkan sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca; dan
- melakukan pengelolaan kerja sama saling pengakuan (mutual recognition) dalam perdagangan karbon luar negeri. (int/bng)
Referensi:
KLHK, 2022. “Pemerintah Perkuat Capaian Pengurangan Emisi Melalui Blue Carbon” [online] Tersedia dalam: https://www.menlhk.go.id/site/single_post/4761/pemerintah-perkuat-capaian-pengurangan-emisi-melalui-blue-carbon.
Ocean Service, 2023. “What is Blue Carbon?” [online] Tersedia dalam: https://oceanservice.noaa.gov/facts/bluecarbon.html#:~:text=Blue%20carbon%20is%20simply%20the,dioxide%2C%20which%20contains%20atmospheric%20carbon.
Pann Maritime, 2022. “Blue Carbon dan Penerapannya di Indonesia” [online] Tersedia dalam: https://pannmaritim.com/blue-carbon-dan-penerapannya-di-indonesia/#:~:text=Blue%20Carbon%20di%20Indonesia%20tersebar,17%25%20dari%20Blue%20Carbon%20dunia
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022.
Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
UGM, 2021. “Blue Carbon Indonesia Simpan 17 Persen Cadangan Karbon Global” [online] Tersedia dalam: https://ugm.ac.id/id/berita/22090-blue-carbon-indonesia-simpan-c17-persen-cadangan-karbon-global/.