Jakarta, CMKP – PT Geothermal Energy Tbk. (PGEO) baru saja mempublikasikan pendapatan baru sebesar US$747.000 atau setara Rp11 miliar pada Kamis (30/3/2023). Cuan tersebut didapat lewat sektor perdagangan karbon atau sering juga disebut carbon credit.
Dalam beberapa tahun terakhir, sebagai upaya pengendalian perubahan iklim, Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan upaya transisi energi, dari energi berbasis bahan bakar fosil menjadi energi baru dan terbarukan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) misalnya, telah meluncurkan skema perdagangan karbon di sektor pembangkit tenaga listrik.
Selain itu, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyebut bahwa sebenarnya perdagangan karbon di Indonesia bisa menembus US$300 miliar atau setara Rp4.625 triliun per tahun.
Lantas, Apa Sebenarnya Carbon Credit Itu?
Inisiasi atas carbon credit pertama kali muncul dalam Protokol Kyoto 1997. Dari situ berbagai negara berdiskusi untuk menemukan cara mengurangi emisi dan gas rumah kaca lain. Resolusi yang dicapai salah satunya memuat kerangka awal perdagangan karbon.
Sumber: UNFCCC.int
Sebelum Protokol Kyoto 1997 berlaku, pelaku usaha bisa bebas melakukan aktivitas produksi yang mencemari udara. Padahal, Thomson Reuters Foundation (2020) mengestimasi kerugian akibat perubahan iklim bisa mencapai US$8 miliar setiap harinya. Sementara Loh dan Stevenson (2008) menyebut kerugian akibat perubahan iklim mencapai 5% dari GDP global per tahun.
Hak mencemari udara itu akhirnya dibatasi salah satunya lewat carbon credit. Carbon credit sendiri mengacu pada sertifikat atau izin yang diberikan kepada pelaku industri. Lewat izin itu, perusahaan diberikan ambang batas emisi karbon yang dihasilkannya, sesuai yang ditetapkan kementerian terkait. Jika produksi emisi perusahaan melebihi ambang batas yang telah ditetapkan, mereka dapat melakukan offset karbon dan/atau membeli sertifikat karbon untuk mengurangi emisi karbonnya.
Carbon credit awalnya belum punya dampak signifikan karena absennya Amerika Serikat dan Tiongkok dalam perjanjian ini. Namun sejak Perjanjian Paris 2015, telah ada 196 negara yang mengadopsi skema United Nations Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) dan membuat carbon credit semakin nyata.
Indonesia sendiri telah meratifikasi kerangka UNFCCC tersebut melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Mencapai Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional, serta Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change.
Potensi Pasar Carbon Credit Indonesia dan Dunia
Mendorong pelaku usaha untuk mencapai emisi net-zero tentu bukan pekerjaan yang mudah. Banyak negara yang telah meratifikasi Perjanjian Paris 2015 masih kesulitan untuk menerapkan carbon credit dan membangun pasar karbon di negaranya.
Akan tetapi melihat komitmen yang dibangun beberapa negara, The Taskforce on Scaling Voluntary Carbon Markets (TSVCM) meyakini permintaan carbon credit akan terus meningkat dan pasarnya dapat bernilai lebih dari $50 Miliar atau setara Rp746 triliun pada tahun 2030. Di Indonesia sendiri, pemerintah mulai menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional untuk tahun 2030.
Dalam kacamata pasar karbon, Indonesia adalah ladang produsen penyerapan atau penyimpanan karbon yang sangat menjanjikan. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) memperkirakan Indonesia mampu menyerap 5,5 giga ton CO2. Angka tersebut membuat potensi serapan karbon Indonesia mencapai US$105 miliar hingga US$114 miliar. Dari situ, Indonesia menempati peringkat lima dunia negara yang berpotensi melakukan suplai 10% carbon credit dunia.
Namun, prospek pasar carbon credit tersebut bukannya tanpa tantangan. Bloomberg NEF menyebut bahwa beberapa tahun ke depan akan menjadi momen penentu masa depan carbon credit. Terlebih karena pasar carbon credit yang menyusut di tahun 2022, struktur pasar yang belum berkelanjutan, serta harga offset yang perlahan meroket. Semua tergantung pada bagaimana nanti pemerintah dan pelaku usaha karbon memanfaatkan potensi yang telah ada pada peluang usaha masa depan tersebut. (int)
BACA JUGA: Pencapaian SDG’s Indonesia 2022: Peringkat 5 ASEAN, Peringkat 82 Dunia
Referensi:
Bisnis.com. 2023, “Pertamina Geothermal (PGEO) Dapat Revenue Rp11 Miliar dari Carbon Credit” [online] Tersedia dalam: https://m.bisnis.com/market/read/20230401/192/1642853/pertamina-geothermal-pgeo-dapat-revenue-rp11-miliar-dari-carbon-credit.
Blaufelder, Christopher, etc. 2021. A blueprint for scaling voluntary carbon markets to meet the climate challenge, McKinsey Report. Tersedia dalam: https://www.mckinsey.com/capabilities/sustainability/our-insights/a-blueprint-for-scaling-voluntary-carbon-markets-to-meet-the-climate-challenge.
BloombergNEF. 2023, “Five Need-to-Knows About the Future of Voluntary Carbon Offset Markets” [online] Tersedia dalam: https://about.bnef.com/blog/five-need-to-knows-about-the-future-of-voluntary-carbon-offset-markets/.
BUMN.go.id. 2022. “BUMN Mulai Uji Coba Perdagangan Karbon” [online] Tersedia dalam: https://bumn.go.id/media/press-conference/bumn-mulai-uji-coba-perdagangan-karbon-qk.
Irama, Ade Bebi, 2020. “Perdagangan Karbon di Indonesia: Kajian Kelembagaan dan Keuangan Negara”, Info Artha, Vol. 4, No. 01, pp. 83-102.
Peterdy, Kyle. 2023, “Carbon Markets” [online] Tersedia dalam: https://corporatefinanceinstitute.com/resources/esg/carbon-markets/.
PGE Pertamina, 2023. “Agresif Lakukan Transisi Energi, Pertamina Geothermal Energy Berhasil Bukukan Pendapatan dari Carbon Credit” [online], Tersedia dalam: https://www.pge.pertamina.com/id/siaran-pers/agresif-lakukan-transisi-energi-pertamina-geothermal-energy-berhasil-bukukan-pendapatan-dari-carbon-credit.
Siregar, Berliana, 2013. “Indonesia Produsen Emisi Karbon Dunia” [online] Tersedia dalam: https://bappebti.go.id/artikel/detail/2997.