Jakarta, CMKP – Dalam upaya pengendalian iklim oleh institusi negara, terdapat berbagai praktik dan inovasi yang dapat digunakan untuk mencapai target pengendalian iklim atau nationally determined contribution (NDC).
Salah satu contoh praktik yang kini telah banyak diimplementasikan adalah nilai ekonomi karbon (NEK). NEK atau dapat juga disebut carbon pricing adalah nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.
NEK menjadi bentuk praktik polluters-pay-principles di mana setiap pihak yang menghasilkan emisi karbon wajib membayar kompensasi atas polusi yang dikeluarkan. Mekanisme tersebut ditujukan untuk mengurangi emisi GRK serta mendorong investasi hijau.
Instrumen NEK secara umum terdiri dari instrumen perdagangan dan non-perdagangan. Instrumen perdagangan meliputi perdagangan izin emisi dan offset emisi. Sementara instrumen non-perdagangan melibatkan pungutan atas karbon serta pembayaran berbasis hasil (result based payment).
Pelaku dan Sektor Penyelenggaraan NEK
Penyelenggaraan NEK merupakan salah satu agenda nasional yang akan melibatkan banyak pihak. Namun dalam praktiknya terdapat empat pelaku utama yang akan terlibat, yakni kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat.
Keempat pelaku utama tersebut akan berperan dalam penyelenggaraan NEK pada Sektor dan Sub Sektor. Penyelenggaraan NEK dalam lingkup sektor terdiri atas: energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan, dan/atau sektor lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu area sub sektor penyelenggaraan NEK terdiri dari: pembangkit, transportasi, bangunan, limbah padat, limbah cair, sampah, industri, persawahan, peternakan, perkebunan, kehutanan, pengelolaan gambut dan mangrove, dan/atau Sub Sektor lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mekanisme Penyelenggaraan NEK
Penyelenggaraan NEK di Indonesia diinisiasi lewat Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.
Terbaru, penyelenggaraan NEK di Indonesia akan dilakukan melalui empat mekanisme berikut:
- Skema Perdagangan Emisi
Skema perdagangan emisi atau emission trading scheme (ETS) dilakukan oleh Pemerintah melalui penetapan batas emisi spesifik sektor. Batasan emisi tersebut nantinya harus dipatuhi oleh entitas yang diatur melalui izin emisi. Penetapan harga karbon sebagian besar akan ditentukan mengikuti penawaran dan permintaan izin emisi.
- Pasar Karbon Offset
Bersama perdagangan emisi, pasar karbon offset termasuk dalam mekanisme pasar dari penyelenggaraan NEK. Pasar karbon offset dijalankan melalui pembelian offset karbon dari proyek pengurangan emisi oleh entitas. Selanjutnya, harga karbon akan ditentukan oleh banyak faktor seperti kualitas proyek, penawaran dan permintaan pasar untuk kredit karbon.
- Pajak Karbon
Pajak karbon termasuk dalam mekanisme non-pasar di mana pemerintah menetapkan besaran pajak karbon. Entitas nantinya harus membayar untuk setiap satuan emisi yang dihasilkan. Penentuan harga karbon didasarkan pada analisis ekonomi biaya pengurangan emisi sektoral.
- Pembayaran Berbasis Hasil
Pembayaran berbasis hasil atau results-based payment (RBP) merupakan mekanisme non-pasar di mana pembayaran yang diberikan kepada entitas untuk setiap unit emisi yang dikurangi dari baseline program konservasi hutan. Penetapan harga karbon pada mekanisme ini akan didasarkan pada analisis ekonomi biaya pengurangan emisi sektoral.
BACA JUGA: Mengenal Carbon Credit: Bisnis Berbasis Lingkungan di Masa Depan?
Wilayah atau Area yang Diperuntukkan untuk NEK
Sementara itu, terdapat area yang dikhususkan untuk penyelenggaraan NEK. Area-area tersebut umumnya memiliki potensi serapan karbon yang tinggi. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, wilayah atau area yang dapat dimanfaatkan untuk perdagangan karbon meliputi:
- Kawasan Hutan produksi tetap, Kawasan Hutan produksi yang dapat dikonversi dan blok pemanfaatan Kawasan Hutan lindung yang telah dibebani Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial, atau hak pengelolaan;
- Kawasan Hutan produksi tetap, Kawasan Hutan produksi yang dapat dikonversi, dan blok pemanfaatan Kawasan Hutan lindung yang belum dibebani PBPH, Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial, atau hak pengelolaan;
- blok Kawasan Hutan lindung lainnya;
- kawasan gambut dan mangrove yang berada di dalam Kawasan Hutan
- kawasan gambut dan mangrove yang berada di luar Kawasan Hutan;
- Kawasan Hutan konservasi;
- hutan adat;
- hutan hak;
- hutan negara yang bukan merupakan Kawasan Hutan.
Referensi:
Kemenko Marves, 2023. “Mengoptimalkan Pasar Karbon di Indonesia”, presentasi nasional.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Dalam Pembangunan Nasional.