Jakarta, CMKP – Tahukah kalian bahwa setiap aktivitas manusia berpotensi menghasilkan polusi bagi lingkungan? Mulai dari berlibur ke Bali, membuang sampah, sampai memasak daging panggang di akhir pekan. Aktivitas yang terlihat sepele tersebut sejatinya memiliki dampak lingkungan. Dampak tersebut biasa disebut dengan carbon footprints atau jejak karbon.
Jejak karbon merujuk pada jumlah atau total emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas manusia dalam kurun waktu tertentu. Emisi karbon sendiri merujuk pada komponen yang dilepaskan ke atmosfer bumi. Umumnya komponen ini berasal dari aktivitas manusia yang melibatkan pembakaran bahan bakar fosil, yang berdampak buruk pada lingkungan.
Beragamnya sumber emisi karbon tersebut membuat perubahan iklim dan masalah lingkungan lain menjadi isu yang semakin nyata. Sejak akhir tahun 90-an, negara-negara di dunia sejatinya mulai menyadari perlunya mengatasi perubahan iklim. Kesadaran tersebut salah satunya ditandai dengan kehadiran Protokol Kyoto 1997 yang menjadi mekanisme operasional dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Hingga 26 tahun berikutnya, komitmen negara-negara untuk membatasi dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) tersebut semakin terealisasi. Salah satunya lewat mekanisme carbon credit yang belakangan menjadi fenomena baru di bidang bisnis, investasi, dan tentunya mitigasi lingkungan.
Selangkah Lebih Dekat dengan Carbon Credit
Mekanisme carbon credit pertama kali diperkenalkan dalam Protokol Kyoto 1997. Carbon credit menjadi sebuah mekanisme pasar demi meminimalkan emisi GRK melalui penetapan batasan emisi GRK yang dihasilkan oleh korporasi.
Dalam praktiknya, carbon credit digunakan untuk menyebut sertifikat atau izin yang memungkinkan korporasi mengeluarkan sejumlah emisi GRK atau karbondioksida (CO2) dari aktivitas produksi mereka. Karena itulah, carbon credit menjadi unit yang diperdagangkan dalam pasar karbon. Umumnya, satu unit carbon credit setara dengan penurunan emisi 1 ton CO2.
Apabila korporasi menghasilkan emisi yang lebih sedikit daripada kredit yang telah dibeli, maka sisa kredit tersebut dapat diperdagangkan kepada pihak lain yang membutuhkan. Sebaliknya, apabila korporasi menghasilkan emisi yang tinggi atau melebihi ambang batas, maka korporasi tersebut harus memberi carbon credit di pasar karbon.
Mekanisme carbon credit tersebut membuat pemerintah dan korporasi menjadi dua pelaku utama dalam implementasi pasar karbon. Selain itu, masyarakat juga dapat ikut terlibat dalam proyek-proyek hijau untuk menghasilkan carbon credit.
Oleh karena itu, carbon credit menjadi bentuk baru dari ekonomi berkelanjutan. Ketika mayoritas aktivitas ekonomi lain menjadi sumber peningkatan emisi GRK, carbon credit tampil sebagai mekanisme bisnis yang menggabungkan investasi ekonomi sekaligus mitigasi lingkungan secara bersamaan.
BACA JUGA: Mengupas Apa Itu Nilai Ekonomi Karbon dan Penyelenggaraannya di Indonesia
Dari Mana Carbon Credit Berasal?
Sertifikat carbon credit berasal dari proyek lingkungan sukarela yang bertujuan untuk mengurangi emisi. Proyek tersebut mewakili aktivitas carbon offset atau penyeimbangan carbon.
Carbon offset merujuk pada produksi energi berkelanjutan untuk mengimbangi penggunaan bahan bakar fosil. Setidaknya ada empat macam proyek carbon offset untuk menghasilkan carbon credit.
Sederhananya, proyek-proyek hijau tersebut memanfaatkan kemampuan alami tumbuhan untuk menyerap CO2 dan mengeluarkannya kembali sebagai oksigen. Dalam prosesnya, penyelenggara proyek hijau dapat mengajukan perhitungan daya serap lahan yang ia kelola ke lembaga verifikasi carbon credit.
Apabila berhasil meraih sertifikasi, carbon credit tersebut akan tercatat dalam depository hingga kemudian dapat diperdagangkan di pasar karbon. Nantinya, carbon credit dapat dibeli oleh entitas atau korporasi dengan target pengurangan emisi. Di Indonesia sendiri, carbon credit dalam peraturan menteri disebut sebagai sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca (SPE-GRK).
Pasar Karbon Indonesia
Peluang ekonomi dari mekanisme carbon credit tidak main-main. Secara teori, ekonomi karbon dapat menciptakan multiplier effect lintas sektoral di bidang keuangan, investasi, teknologi, sosial, hingga transisi energi.
Karena itulah Pemerintah Indonesia mulai bergerak untuk membangun pasar karbon nasional. Terbaru, pemerintah telah menetapkan mekanisme nilai ekonomi karbon serta meluncurkan bursa karbon beserta perangkat hukumnya pada September 2023. (int/chs)
Referensi:
Kemenko Marves, 2023. “Mengoptimalkan Pasar Karbon di Indonesia”. Dokumen Presentasi.
ICDX, 2021. “Pengertian Istilah Kredit Karbon” [online] Tersedia dalam: https://www.icdx.co.id/news-detail/publication/pengertian-istilah-kredit-karbon.
Institute for Sensible Transport, n.d. “Transport and Climate Change” [online] Tersedia dalam: https://sensibletransport.org.au/project/transport-and-climate-change/.
IPE Hijau, n.d. “Apa Itu Kredit Karbon dan Penyeimbangan Carbon Offset” [online] Tersedia dalam: https://ipehijau.org/apa-itu-kredit-karbon-carbon-credit-dan-penyeimbangan-karbon-carbon-offset/.