Perjanjian Dapat Dibatalkan vs Batal Demi Hukum, Apa Bedanya?


syarat sah perjanjian

Jakarta, CMKP – Ketika belajar tentang perjanjian dalam hukum, terdapat dua istilah yang terkadang muncul dan kerap kali membingungkan. Kedua istilah tersebut adalah ‘batal demi hukum’ dan ‘dapat dibatalkan’. Kedua istilah tersebut terdengar mirip, namun sejatinya memiliki arti yang berbeda. 

Sebelum membahas lebih jauh, perlu diketahui bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat empat syarat sah perjanjian:

  1. Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri;
  2. Kecakapan pihak yang membuat kontrak;
  3. Suatu pokok persoalan tertentu; dan
  4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Syarat pertama dan kedua berlaku bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian, sehingga seringkali disebut syarat subjektif. Pada sisi lain, syarat ketiga dan keempat melekat pada isi perjanjian, sehingga disebut sebagai syarat objektif. 

Perjanjian Dapat Dibatalkan

Suatu perjanjian dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat subjektif. Pelanggaran syarat subjektif perjanjian terjadi karena adanya cacat kehendak, seperti paksaan, penipuan, kekhilafan, maupun ketidakcakapan pihak dalam perjanjian. 

Artinya, perjanjian tidak akan lagi mengikat setiap pihak apabila dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang mengajukan pembatalan. Untuk itu, perjanjian ‘dapat dibatalkan’ memerlukan pembatalan dari pengadilan untuk terlepas dari ikatan perjanjian.

BACA JUGA: Perjanjian Perkawinan: Pengertian, Bentuk, dan Prosesnya

Perjanjian Batal Demi Hukum

Sementara itu, perjanjian batal demi hukum dapat terjadi apabila syarat objektif tidak terpenuhi. Pelanggaran syarat objektif umumnya terjadi apabila perjanjian memuat pasal-pasal yang tidak diperbolehkan, seperti bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Akibatnya, perjanjian akan dianggap batal atau bahkan tidak pernah terjadi sejak awal. Maka dari itu posisi setiap pihak yang terikat dalam perjanjian harus dikembalikan ke keadaan semula. Selain itu, perjanjian yang ‘batal demi hukum’ dapat terjadi tanpa perlu meminta putusan atau pengesahan dari pengadilan.  

Referensi:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Mulano, Martias Gelar Imam Radjo. 1982, Pembahasan Hukum: Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

P.N.H. Simanjuntak, 2007, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »