Jakarta, CMKP – Sejak 2017, sistem zonasi telah menjadi penemuan dan fenomena baru bagi pendidikan Indonesia. Sistem tersebut membawa perubahan bagi proses pendaftaran peserta didik baru (PPDB) pada jenjang SD, SMP, hingga SMA sederajat.
Lewat Permendikbud 17/2017 tentang PPDB SD/SMP/SMA sederajat, sistem zonasi menghapuskan nilai ujian nasional (UN) sebagai syarat penerimaan calon peserta didik dan menggantinya dengan jarak sekolah ke rumah/domisili pelajar terkait. Artinya, calon peserta didik hanya dapat mendaftar di sekolah yang masih satu zona atau dekat dengan rumahnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu menyebut bahwa sistem zonasi menjadi upaya pemerintah untuk mereformasi pendidikan nasional dengan memangkas adanya kasta dan favoritisme pada sekolah yang dianggap lebih unggul. Selain itu, pemerataan akses dan kualitas layanan pendidikan menjadi tujuan utama.
Jejak Implementasi Sistem Zonasi
Sistem zonasi pada dasarnya diadaptasi dari sistem penerimaan siswa baru di negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Australia, dan Eropa. Negara-negara tersebut umumnya telah memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi dan merata dibandingkan Indonesia.
Sementara di Indonesia, ketimpangan kualitas dan lokasi sekolah menjadi isu yang kerap dikeluhkan para orang tua/wali murid. Oleh karena itu banyak dari mereka yang mencoba mencari cara untuk tetap dapat masuk ke sekolah yang dianggap lebih unggul secara kualitas.
Pemalsuan Data Warnai Sistem Zonasi
Dalam sistem zonasi, kartu keluarga (KK) menjadi data penting untuk menentukan sekolah mana yang bisa dimasuki oleh calon peserta didik. Domisili pada dokumen KK didasarkan pada alamat yang diterbitkan minimal satu tahun sejak tanggal pendaftaran PPDB.
Sayangnya, hal tersebut menjadi celah bagi beberapa oknum untuk memalsukan KK demi mengakali persyaratan sistem zonasi. Pada bulan Juli 2023 misalnya, terdapat laporan temuan 31 kasus pemalsuan KK di PPDB Provinsi Riau serta 155 kasus pendaftar PPDB yang tidak sesuai dengan domisili pada KK.
Padahal, larangan terkait pemalsuan data telah diatur dalam Permendikbud No. 44 Tahun 2019. Pasal 39 menyebutkan bahwa pemalsuan terhadap:
- kartu keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
- bukti sebagai peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18; dan
- bukti atas prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila merujuk pada Pasal 94 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, pemalsuan KK termasuk dalam perbuatan memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi data Kependudukan dan/atau elemen data Penduduk. Pelanggar dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp75 juta.
Mengingat masih maraknya kasus pemalsuan KK dengan mengikuti PPDB di sekolah yang dianggap lebih unggul, maka upaya pemerataan pendidikan lewat sistem zonasi harus terus dievaluasi dan diperbaiki sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat. (int/chs)
Referensi:
Kumparan, 2023. “Sistem PPDB Dinilai Suburkan Praktik Pemalsuan Dokumen” [online] Tersedia dalam: https://m.kumparan.com/kumparannews/sistem-ppdb-dinilai-suburkan-praktik-pemalsuan-dokumen-bisa-rusak-moral-anak-20mErvWEdmD/3.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.