Jakarta, CMKP – Digitalisasi di berbagai lini kehidupan menjadi bentuk kemajuan zaman yang tidak dapat dihindari. Salah satunya adalah penggunaan tanda tangan elektronik (TTE) di dunia usaha yang semakin banyak digunakan sejak masa pandemi Covid-19.
TTE adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. TTE sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019).
Penggunaan TTE
Penggunaan TTE dalam dunia usaha dapat digunakan untuk keperluan internal maupun eksternal perusahaan. Keperluan internal umumnya meliputi pembuatan perjanjian kerja, kebijakan dan prosedur, serta risalah rapat. Sementara keperluan eksternal menyangkut perjanjian dengan pihak ketiga seperti perjanjian sewa, perjanjian kerja sama, pelaporan kepada regulator, dan korespondensi.
Dalam praktiknya ada dua jenis TTE yang dapat digunakan, yakni TTE tersertifikasi dan TTE tidak tersertifikasi. TTE tersertifikasi merupakan TTE yang diterbitkan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia (PSrE). PSrE sendiri berada di bawah kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI. Daftar PSrE yang menyediakan jasa PSrE pun dapat dicek di situs web Kominfo. Sebaliknya, TTE tidak tersertifikasi dibuat tanpa menggunakan jasa PSrE.
Sejatinya, keduanya punya kekuatan hukum yang sama, yang membedakan hanya dalam pembuktian di hadapan pengadilan. TTE tersertifikasi menawarkan keamanan yang lebih tinggi karena kebenaran atas adanya ikatan hukum tersebut tidak dapat disangkal oleh penanda tangan, sehingga tidak membutuhkan pembuktian lebih lanjut.
BACA JUGA: Jerat Hukum bagi Tindak Pemalsuan Tanda Tangan
Persyaratan Legalitas TTE
TTE memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan berikut:
- data pembuatan TTE terkait hanya kepada penanda tangan;
- data pembuatan TTE pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan;
- segala perubahan terhadap TTE yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
- segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan TTE tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
- terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penanda tangannya; dan
- terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penandatangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
Dari pemaparan tersebut, TTE diakui secara hukum untuk digunakan sebagai alat autentifikasi dan verifikasi apabila telah memenuhi ketentuan undang-undang. Meski begitu, TTE tersertifikasi lebih direkomendasikan, terutama untuk dokumen yang berdampak material terhadap kegiatan usaha, karena apabila terjadi sengketa di hadapan pengadilan, tidak diperlukan lagi adanya pembuktian lebih lanjut (sebagaimana halnya dokumen yang dibuat di hadapan notaris). (int)
Referensi:
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019