Jakarta, CMKP – Dalam suatu ikatan perkawinan, perjanjian pranikah umumnya digunakan untuk mengatur berbagai hal dalam hubungan perkawinan. Mulai dari ketentuan harta bawaan, harta pencaharian masing-masing, kewenangan mengurus harta pribadi, pemisahan maupun percampuran harta, dan lain sebagainya.
Selain pasal-pasal tersebut, ternyata perjanjian pranikah juga dapat mempengaruhi masalah utang-piutang milik suami maupun istri. Bagaimana implikasinya, simak pada penjelasan berikut!
Utang dalam Hubungan Perkawinan
Dalam hubungan perkawinan, terkadang salah satu pihak melakukan perjanjian utang untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun keluarga.
Menurut hukum Indonesia, utang dalam perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (UU Perkawinan). Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Merujuk pasal tersebut, harta benda suami dan istri yang didapat selama perkawinan akan otomatis menjadi harta bersama. Sehingga, penggunaan harta bersama tersebut harus dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.
Hal tersebut diperkuat dengan Pasal 36 ayat (1) yang berbunyi: Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Maka dari itu, pengajuan utang harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Salah satu pasangan tidak dapat melakukan pelunasan utang menggunakan harta bersama atau harta bawaan apabila salah satu pihak tidak memberikan persetujuan. Sehingga pemberi utang tidak bisa menuntut pasangan atas utang yang dimiliki suami atau istri.
Sementara itu, pelunasan utang pribadi masih dapat menggunakan harta bawaan sebelum perkawinan; sepanjang suami dan istri tidak mengatur ketentuan lain.
BACA JUGA: Ingin Membuat Perjanjian Perkawinan? Simak Hal Apa Saja yang Bisa Diatur di Dalamnya!
Utang pada Pasangan dengan Perjanjian Perkawinan
Ketentuan terkait utang menjadi salah satu hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan. Pasangan yang membuat perjanjian perkawinan dapat melakukan pemisahan harta.
Maka dari itu, utang akan menjadi tanggung jawab masing-masing maupun tanggung jawab bersama namun dengan batasan yang jelas. Oleh karena itu, salah satu pihak tidak perlu meminta persetujuan pasangan untuk mengajukan utang. Sebagai konsekuensi, pasangan juga tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas pelunasan utang suami atau istri.
Referensi:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.