Jakarta, CMKP – Pernahkah kalian membayangkan dihukum atas kesalahan yang tak pernah kalian lakukan? Dalam serial dokumenter The Innocence Files misalnya, Netflix berusaha menceritakan kasus-kasus peradilan sesat yang dihimpun oleh organisasi nirlaba The Innocence Project. Para korban mengalami kerugian fisik, psikis, dan kehilangan masa depan karena kesalahan proses hukum.
Kesalahan hukum tersebut akhirnya memunculkan skema rehabilitasi dan ganti rugi. Dalam kasus Lawrence McKinney asal Amerika Serikat misalnya. Ia telah menjadi tersangka pemerkosaan dan pembunuhan, sehingga harus menjalani hukuman 31 tahun. Ternyata, ia terbukti tidak bersalah melalui analisis DNA dan berhasil mendapat ganti rugi sebesar Rp13,5 miliar dari pemerintah negara bagian Tennessee.
Sebenarnya bagaimana peradilan sesat bisa terjadi dan bagaimana aturan terkait kompensasinya?
Pengertian Peradilan Sesat
Peradilan sesat atau wrongful convictions merupakan situasi di mana seseorang dihukum atas kejahatan yang tidak ia lakukan. Situasi ini dapat terjadi karena terdakwa secara faktual tidak bersalah atas tuduhan atau adanya kesalahan yang melanggar prosedur hukum.
Peradilan sesat umumnya terjadi akibat kegagalan proses peradilan pidana akibat penyebab-penyebab berikut:
- Pengakuan palsu: saksi atau korban mungkin melakukan pengakuan palsu entah karena terdorong janji, ancaman, tekanan, ketidaktahuan akan hukum, kesalahpahaman hukum, maupun pertanyaan yang sugestif.
- Kesalahan identifikasi saksi mata: identifikasi oleh saksi mata tidak sepenuhnya dapat menjadi bukti kuat. Saksi mata berpotensi melakukan pengakuan yang dilebih-lebihkan serta didasarkan pada ingatan yang rancu. Selain itu, riset membuktikan bahwa orang lebih mungkin salah mengidentifikasi wajah orang asing yang berbeda ras dengan dirinya.
- Kesaksian informan tidak dapat diandalkan: informan berpotensi memberikan informasi akibat dorongan menghindari tuntutan pidana, pengurangan hukuman, maupun
- Ilmu forensik yang tidak tepat: meski sering menjadi barang bukti kuat, namun analisis forensik yang salah atau dilebih-lebihkan sering menjadi masalah pada banyak kasus kriminal.
- Penasihat hukum tidak dapat diandalkan: kapasitas pengacara atau penasihat hukum yang membela terdakwa menjadi hal vital yang berpengaruh pada proses peradilan.
Terjadinya peradilan sesat merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu, korban peradilan sesat berhak atas ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang ia alami. Sayangnya, pembuktian dan tuntutan ganti rugi tersebut tidak selalu mudah dilakukan.
BACA JUGA: Memahami Asas Praduga Tak Bersalah dalam Sistem Peradilan Indonesia
Bagaimana dengan Kompensasi Peradilan Sesat di Indonesia?
Di Indonesia, kasus semacam ini tidak hanya sekali dua kali terjadi. Sebagai contoh adalah kasus pembunuhan Cipulir dimana empat tersangka yang di bawah umur menjadi korban salah tangkap. Para tersangka mengakui tuduhan karena berada di bawah tekanan hingga telah menjalani hukuman penjara selama tiga tahun, sebelum kemudian dinyatakan tidak bersalah.
Aturan hukum terkait korban salah tangkap dan peradilan sesat dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan Ganti Kerugian
Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut kerugian jika:
- Ditangkap tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan orangnya atau hukum yang diterapkan.
- Ditahan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan orangnya atau hukum yang diterapkan.
- Dituntut dan diadili atau dikarenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan orangnya atau hukum yang diterapkan.
Tuntutan ganti kerugian diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Putusan pemberian ganti kerugian nantinya berbentuk penetapan. Penetapan memuat dengan lengkap semua hal yang yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
Dalam Pasal 95 ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Selanjutnya pada Pasal 9, disebutkan bahwa:
- Besaran ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp1.000.000.
- Besaran ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan paling sedikit Rp25.000.000 dan paling banyak Rp300.000.000.
- Besaran ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat yang mengakibatkan mati, paling sedikit Rp50.000.000 dan paling banyak Rp600.000.000.
Tata cara pembayaran ganti kerugian meliputi:
- Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
- Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh Menteri Keuangan.
Ketentuan Rehabilitasi
Seseorang berhak memperoleh rehabilitasi jika oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan.
Putusan dari pengadilan atau penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi: “Memulihkan hak terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”
Meski telah diatur, bukan berarti korban salah tangkap atau peradilan sesat dapat dengan mudah memperoleh kompensasi. Selain itu, data menunjukkan bahwa kasus salah tangkap dan peradilan sesat masih sering terjadi. Menurut catatan KontraS misalnya, terdapat 51 kasus salah tangkap pada periode Juli 2018 hingga Juni 2019.
Fakta ini tentu menjadi alarm akan pentingnya proses hukum yang adil agar peristiwa salah tangkap dan peradilan sesat bisa diminimalisir. (int/bng)
Referensi:
BBC, 2018. “Korban salah tangkap yang dipenjara 31 tahun dapat ganti rugi Rp13,5 miliar” [online] Tersedia dalam: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-43511166.
Innocence Project, 2020. “Wrongful Convistions” [online] Tersedia dalam: https://wvinnocenceproject.law.wvu.edu/innocence-project-blog/our-voices/2020/10/02/wrongful-convictions-the-facts.
Kompas, 2019. “Catatan Kontras, Ada 51 Kasus Salah Tangkap Sejak Juli 2018” [online] Tersedia dalam: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/18/16122131/catatan-kontras-ada-51-kasus-salah-tangkap-sejak-juli-2018?page=all.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“PP KUHAP”).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015.